Beranda | Artikel
Sirah Nabi 5 - Kondisi Keagamaan Sebelum Diutusnya Nabi Muhammad ﷺ
Senin, 2 Oktober 2017

Kondisi keagamaan sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam didominasi dengan kerusakan dan kesyirikan. Walau dalam beberapa segi mereka memiliki sifat-sifat baik seperti jujur dan gemar memuliakan tamu. Karena itulah, mereka adalah orang-orang yang paling semangat dan merasa bangga dengan mengagungkan Ka’bah. Mereka merasa bangga bisa membantu memberi makan dan minum kepada jama’ah haji.

Awal kesyirikan terjadi di Mekkah, dipelopori oleh ‘Amr bin Luhay Al-Khuza’i dari Bani Khuza’ah. Dia adalah orang yang sangat dermawan, sangat luar biasa kedermawanannya. Sampai-sampai dikisahkan oleh para sejarawan seperti Al-Azruqi dalam Al-Akhbar Makkah (jilid 1/100), demikian juga dinukil oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullāh dalam kitabnya Al-Bidayah wa An-Nihayah (jilid 3/187). Bahwa diantara bentuk kedermawanan Amr bin Luhay adalah dia orang yang pertama kali memberi makanan dan minuman kepada jama’ah haji dengan gratis. Bahkan disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir:

أنه ربما ذبح أيام الحجيج عشرةَ آلاف بدنة، وكسى عشرةَ آلافِ حُلَّةٍ، في كل سنة يُطعم العَرَبَ، ويَحِيْسُ لهم الْحَيْسَ بالسمن والعسل، ويَلُتُّ لهم السويق

“Terkadang  ‘Amr bin Luhay ini kalau musim haji dia menyembelih 10 ribu ekor unta untuk jama’ah haji, memberikan 10 ribu pakaian, dan setiap tahun dia memberi makan kepada orang-orang Arab, membuatkan bagi mereka hais (korma yang dicampur tepung) yang dicampur dengan minyak saman dan madu, serta membuatkan bagi mereka adonan sawiq.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah 3/187)

Dia adalah orang yang sangat terpandang dan dihormati oleh orang-orang Arab pada zaman itu. Seluruh perkataannya didengar dan diikuti. Maka wajar jika ketenaran dan kebaikannya tersebar ke seantero jazirah Arab. Namun seseungguhnya dialah orang yang pertama kali membawa bencana di negeri Arab.

Di Mekkah dahulu telah terjadi kemaksiatan, kezhaliman, serta perzinaan, namun belum terjadi kesyirikan. Kesyirikan pertama kali dipelopori oleh ‘Amr bin Luhay Al-Khuza’i. Disebutkan bahwa dia pergi bersafar ke negeri Syam dimana telah merebak kesyirikan di negeri Syam pada saat itu. Dia mendapati penduduk negeri Syam menyembah berhala-berhala. Dia bertanya: “Apa yang kalian sembah ini?” Mereka mengatakan: “Ini patung-patung, dengan wasilah (perantara) patung ini, apabila kami minta hujan maka tuhan kami menurunkan hujan.”

Maka dia meminta agar diberikan hadiah berupa patung yang akan dia bawa pulang ke Mekkah. Mulailah dia mengajak orang-orang untuk mencoba ibadah ini. Karena Amr bin Luhay adalah orang yang perkataannya didengar, maka bangsa Arab menyambut ajakannya dan ikut-ikutan menyembah patung-patung tersebut, hingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan bagi bangsa Arab untuk menyembah patung. Sebelum dia membawa kebiasaan menyembah patung, kesyirikan pertama kali yang dia lakukan adalah khurafat.

Dalam suatu hadits shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari, dari hadits Abū Hurairah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu dan juga dari hadits ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

وَلَقَدْ رَأَيْتُ جَهَنَّمَ يَحْطِمُ بَعْضُهَا بَعْضًا، حِينَ رَأَيْتُمُونِي تَأَخَّرْتُ، رَأَيْتُمُونِي تَأَخَّرْتُ وَرَأَيْتُ فِيهَا ابْنَ لُحَيٍّ وَهُوَ الَّذِي سَيَّبَ السَّوَائِبَ

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam suatu saat shalat kemudian beliau mundur (para shāhabat heran kenapa mundur), kata Nabi: “Aku diperlihatkan oleh Allāh neraka Jahannam yang apinya menghantam satu dengan yang lainnya. Aku melihat dalam neraka Jahannam ada ‘Amr bin Luhay dan dia adalah orang yang telah mengkeramatkan onta.”

Dalam hadits lain riwayat Abū Hurairah, kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ عَامِرٍ الْخُزَاعِيَّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ ، كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ                                       

“Aku melihat ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i menyeret ususnya didalam neraka karena dia adalah orang yang pertama kali mengkeramatkan onta-onta.” (HR Al-Bukhari no 3521)

Dalam riwayat Ahmad, kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

وَرَأَيْتُ فِيهَا لُحَيَّ بْنَ عَمْرٍو يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ ، وَأشْبَهُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ مَعْبَدُ بْنُ أَكْثَمَ الْكَعْبِيُّ فقَالَ مَعْبَدٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَيُخْشَى عَلَيَّ مِنْ شَبَهِهِ وَهُوَ وَالِدِي ؟ قَالَ : ” لا ، أَنْتَ مُؤْمِنٌ ، وَهُوَ كَافِرٌ ” ، وَكَانَ لُحَيٌّ أَوَّلَ مَنْ حَمَلَ الْعَرَبَ عَلَى عِبَادَةِ الأَصْنَامِ .

“Aku melihat di dalamnya Luhay bin ‘Amr menyeret ususnya di dalam neraka dan wajahnya mirip dengan Ma’bad bin Aktsam.”

Saat itu ada seorang shāhabat namanya Ma’bad bin Aktsam yang wajahnya sangat mirip dengan ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i.

Maka Ma’bad ini bertanya: “Yā Rasūlullāh, apakah dikhawatirkan orang yang mirip dengan dia, dia adalah nenek moyangku?”  (Karena dia adalah dari keturunannya ‘Amr bin Luhay).

Jawab Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Tidak, engkau beriman sementara dia orang kafir. Dan dia adalah orang yang pertama kali menjadikan orang-orang Arab untuk menyembah berhala.” (HR Ahmad no 14800)

Apa yang dilakukan oleh ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i diabadikan oleh Allah di dalam Al-Quran. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِن بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari´atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam (ini nama-nama unta atau kambing yang dikeramatkan-pent). Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti” (QS Al-Maidah : 103)

‘Amr bin Luhay al-Khuzaa’i melarang memotong unta atau kambing yang dihalalkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Bahkan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullāh dalam perkataannya yang indah dalam kitab Al-Bidāyah wa An-Nihāyah, beliau menjelaskan bahwasanya ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i melakukan ini semua dalam rangka sebagai rahmat terhadap hewan-hewan, menurut persangkaannya. Dan bid’ah-bid’ah yang mereka lakukan dari syari’at-syari’at yang bathil dan rusak adalah sesuatu yang disangka oleh pembesar mereka (‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i, semoga Allāh memburukkan wajahnya) sebagai suatu mashlahat dan sebagai suatu bentuk rahmat kepada hewan ternak.

Secara sekilas dan zhahirnya perbuatan ini seolah-olah tampak bagus. Unta yang sudah melahirkan anak betina 5 kali berturut-turut, dianggap telah berjasa sehingga tidak boleh disentuh dan diperas susunya. Secara sekilas hal tersebut merupakan mashlahat dan rahmat, tetapi sejatinya hal tersebut adalah bid’ah yang sesat dan awal mula munculnya kesyirikan, yaitu mengkeramatkan hewan-hewan. Maka setelah itu syirik berkembang, dimulai dari penyembahan patung-patung yang mereka jadikan washilah bagi mereka dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Dari sini wajar kalau kita mengetahui bahwasanya orang-orang Arab dahulu meskipun mereka di zaman Jahiliyyah, mereka telah mengenal Allāh, mereka mengenal Ka’bah, mengenal dakwah tauhid yang merupakan ajaran Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām yang masih tersisa pada mereka. Mereka mengenal Allāh sebagai Pencipta. Maka jangan disangka orang-orang musyrik tidak mengenal Allāh, mereka kenal.

Jika kita mengetahui sejarah tentang perjalanan Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām, Nabi Ismā’īl ‘alayhissalām hingga Jurhum, Khuza’ah dan Quraisy, maka kita tahu bahwasanya adalah sesuatu yang wajar apabila mereka mengenal Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Allāh mengatakan dalam Al-Qurān:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ

“Kalau engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi, maka sungguh-sungguh mereka mengatakan yang menciptakan adalah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.” (QS Az-Zumār : 38)

Oleh karenanya mereka berhaji sejak zaman sebelum Nabi Muhammad dan mereka juga bertalbiyah.

Oleh karenanya dalam Shahih Muslim, ketika Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam melihat orang-orang Musyrik Quraisy thawaf di Ka’bah, mereka kemudian bertalbiyah

لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ

“Yā Allāh, kami penuhi panggilanMu, yā Allāh tidak syarikat (sekutu) bagimu.”, lalu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata kepada mereka:

وَيْلَكُمْ، قَدْ قَدْ

“Celaka kalian, cukup perkataan kalian, (jangan ditambah lagi talbiyahnya).”

Kemudian mereka menambahkan:

إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ

“Kecuali syarikat (sekutu) milikMu, Engkau menguasainya, dan sekutu tersebut tidak menguasai.”

Mereka kaum musyrikin mengucapkan hal ini (talbiyah syirik) sementara mereka sedang thowaf di ka’bah (HR Muslim no 1185)

Mereka juga bertalbiyah meskipun talbiyah mereka mengandung kesyirikan. Bahkan mereka mengucapkan talbiyah itu sambil thowaf untuk mengagungkan Allah. Mereka mengakui Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Tetapi mengapa mereka menyembah patung-patung? Sesungguhnya patung-patung itu hanya simbol dari orang-orang shālih, simbol yang mendekatkan mereka kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Oleh karena itu, mereka berkata sebagaimana Allāh abadikan perkataan mereka dalam Al-Qurān:

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

“Kami tidak menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan kami kepada Allāh dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumār 3)

Inilah asal kesyirikan mereka, yaitu dalam rangka mengagungkan Allāh melalui perantara-perantara. Karenanya Ar-Raazi, salah seorang mufassir dari madzhab Syāfi’iyyah dalam kitabnya Mafātihul Ghāib berkata, “Bahkan kaum musyrikin mengetahui dengan jelas sekali bahwasanya patung-patung tersebut tidak menimbulkan perbuatan sama sekali, tidak ada penciptaan dan tidak ada pengaruh. Jika perkaranya demikian maka menjadikan mereka sebagai syarikat bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam penyembahan merupakan murni kebodohan dan kedunguan” (At-Tafsiir Al-Kabiir 19/33)

Beliau juga berkata, “Mereka (kaum kafir) menjadikan patung-patung dan arca-arca dalam bentuk para nabi-nabi mereka dan orang-orang mulia mereka. Mereka menyangka bahwasanya jika mereka beribadah kepada patung-patung tersebut maka orang-orang mulia tersebut akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah. Dan yang semisal dengan ini di zaman sekarang banyak orang yang mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia dengan keyakinan bahawasanya jika mereka mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia tersebut maka mereka akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah” (Mafaatiihul Goib/At-Tafsiir Al-Kabiir 17/63)

Mereka beranggapan, melalui perantara-perantara yang dekat dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla permintaan mereka akan lebih mudah dikabulkan daripada langsung meminta kepada Allāh. Sehingga Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan jika hambaKu bertanya kepadaKu wahai Muhammad, maka sesungguhnya Aku dekat, Aku kabulkan orang yang berdo’a kepadaKu.” (QS Al-Baqarah : 186)

Yaitu tanpa perlu melalui perantara atau wasilah apapun. Langsung meminta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ar-Raazi berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ((Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku maka sesungguhnya aku dekat)), Allah subhaanahu wa ta’aala tidak berkata ((Katakanlah aku dekat)), maka ayat ini menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari banyak sisi. Yang pertama, seakan-akan Allah subhaanahu wa ta’aala berkata : HambaKu engkau hanyalah membutuhkan washithoh (perantara) di selain waktu berdoa adapun dalam kondisi berdoa maka tidak ada perantara antara Aku dan engkau” (Mafaatihul Goib 5/106)

Inilah pentingnya mengenal sejarah tentang kesyirikan yang terjadi sebelum datangnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan juga setelah datangnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yaitu agar kita tidak terjerumus ke dalam kesyirikan-kesyirikan tersebut.

Patung-patung yang disembah oleh bangsa Arab berbeda-beda dan bermacam-macam. Masing-masing daerah atau kabilah memiliki Tuhan sendiri-sendiri. Di Mekkah ada patungnya sendiri (yang terkenal ada al-Uzza wa Hubal), di Thā’if ada patungnya sendiri (misal Latta), di Madinah juga ada patungnya sendiri (yaitu al-Manaat) yang disembah oleh suku al-Aus dan al-Khazraj. Mereka berlomba-lomba berkreasi membuat patung-patung. Satu patung untuk ini dan patung lain untuk itu, masing-masing punya fungsi sendiri-sendiri, sama seperti dewa-dewa pada keyakinan orang-orang Hindu. Padahal Tuhan itu bersifat Maha Sempurna.

Disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas dalam Shahih Bukhari bahwa Latta dahulu adalah orang yang shālih. Dia memiliki kebiasaan suka membuat adonan makanan lalu membagi-bagikannya kepada jama’ah haji. Setelah dia meninggal dunia, dibuatlah patung di kuburannya.

Di Ka’bah ada sekitar 360 patung yang Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam hancurkan saat Fathul Makkah dimana sebelumnya beliau belum saggup untuk menghancurkan patung-patung tersebut. Beliau hanya mampu menghancurkannya saat Fathul Makkah.

جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

 “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Al-Isrā: 81)

Inilah kesyirikan yang terjadi di tengah bangsa Arab. Harus ada suatu simbol atau visualisasi dari yang mereka ibadahi, sampai-sampai jika mereka tidak sempat membuat patung, mereka akan mencari cara yang lain.

Dalam Shahih Bukhari, Abū Raja’ ‘Athāridi, seorang tābi’īn yang hidup di zaman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam namun saat di zaman Nabi dia belum masuk Islam. Dia bahkan sempat terfitnah mengikuti Musailimah Al-Kadzdzāb, dan baru masuk Islam setelah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam wafat. Dia pernah bercerita tentang bagaimana dahulu mereka menyembah patung. Dia berkata:

كُنَّا نَعْبُدُ الحَجَرَ، فَإِذَا وَجَدْنَا حَجَرًا هُوَ أَخْيَرُ مِنْهُ أَلْقَيْنَاهُ، وَأَخَذْنَا الآخَرَ

“Kami menyembah batu (yang dijadikan sebagai patung). Apabila kami dapati ada batu yang lebih bagus, maka kami ambil batu tersebut dan batu yang lama kami buang” (Atsar riwayat Al-Bukhari dalam shahihnya no 4376).

Patung-patung tersebut menurut mereka hanyalah sekedar simbol belaka. Mereka tidak meyakini bahwa patung-patung tersebut yang menciptakan alam semesta. Orang Arab dahulu, bukanlah kaum yang begitu bodohnya meyakini bahwa patung menciptakan alam semesta. Namun mereka menganggap patung tersebut hanyalah simbol. Jika ada simbol yang lebih bagus, maka simbol yang lama dibuang.

Disebutkan oleh para ahli sejarah, sampai-sampai kalau mereka ingin bersafar, mereka mengusap terlebih dahulu patungnya sebelum berangkat, supaya tenang. Dan sepulangnya dari safar, patung itu diusap lagi. Sehingga mereka sangat bergantung terhadap simbol tersebut.

Abū Rajā ‘Athāridiy melanjutkan :

فَإِذَا لَمْ نَجِدْ حَجَرًا جَمَعْنَا جُثْوَةً مِنْ تُرَابٍ، ثُمَّ جِئْنَا بِالشَّاةِ فَحَلَبْنَاهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُفْنَا بِهِ

“Jika kami tidak mendapatkan batu maka kamipun mengumpulkan tanah untuk digundukan lalu kami mendatangkan seekor kambing lalu kami perah susunya untuk ditumpahkan ke atas gundukan tanah tersebut, lalu kami thowaf mengelilingi gundukan tanah tersebut” (Atsar riwayat Al-Bukhari dalam shahihnya no 4376).

Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan dalam Al-Qurān bahwasanya patung-patung tersebut bukanlah Tuhan, tetapi hanya sekedar benda yang dituhankan.

أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ

“Apa yang kalian sembah itu hanyalah sekedar nama-nama yang kalian dan nenek moyang kalian menamakannya, yang tidak pernah diturunkan oleh Allah keteranganya.” (QS. Yūsuf : 40)

Allāh tidak pernah menurunkan keterangan bahwasanya itu adalah Tuhan atau wakil Tuhan atau simbol Tuhan. Sehingga merupakan hal yang aneh bagi orang yang menjadikan patung-patung itu sebagai Tuhan. Lihatlah kebodohan mereka sampai menjadikan batu sebagai Tuhan.

Disebutkan ada seorang Arab ketika dia ingin menyembah Tuhannya, tiba-tiba dia melihat dua ekor anjing atau serigala yang mengencingi Tuhannya, kemudian dia protes dan mengatakan

أَرَبٌّ يَبُولُ الثَّعْلَبَانُ بِرَأْسِهِ    لَقَدْ ذَلَّ مَنْ بَالَتْ عَلَيْهِ الثَّعَالِبُ

“Apakah ada tuhan yang kepalanya dikencingi oleh anjing, sungguh hina tuhan yang dikencingi anjing.”

Bentuk kesyirikan lain yang tersebar di jazirah Arab seperti penyembahan terhadap jin. Allāh sebutkan dalam Al-Qurān:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan dahulu ada sebagian manusia yang mereka meminta perlindungan kepada jin maka semakin menambah kekufuran mereka dan semakin menambah kesombongan para jin.” (QS Al-Jin : 6)

Disebutkan dalam buku-buku tafsir, mereka dahulu tatkala melewati suatu lembah dan mereka khawatir ada jin-jin yang mengganggu, mereka berkata: “Kami berlindung kepada pimpinan lembah ini supaya tidak diganggu oleh anak buahnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/239)

Apabila mereka membaca do’a seperti itu, maka tenanglah hati mereka karena merasa tidak akan ada yang mengganggunya. Sungguh ini merupakan kesyirikan.

Dalam tafsir lain ” فَزَادُوهُمْ رَهَقًا ” diartikan semakin menambah kekufuran mereka.

Hal seperti ini banyak tersebar di tanah air kita, diantara jika mau melewati jembatan harus meminta izin atau memberi kode, dan banyak hal lainnya.

Kesyirikan lain yang ada pada bangsa Arab adalah tathayyur, yaitu mengaitkan nasib sial dengan sesuatu yang dilihat atau didengar. Disebutkan bahwa orang-orang jahiliyyah zaman dahulu tatkala hendak bersafar, mereka pergi menuju sekawanan burung tertentu lalu mereka usir burung tersebut. Kalau burung itu terbang ke arah kanan maka mereka akan berangkat, namun kalau burungnya terbang ke arah kiri maka mereka tidak jadi bersafar karena takut akan ditimpa kesialan. Mereka juga bertathayyur dengan bulan Shafar. Segala bentuk kesyirikan yang terjadi sekarang, seperti menyembelih untuk selain Allāh dan yang lainnya, semuanya pernah dilakukan oleh kaum musyrikin zaman dahulu.

 

Jakarta, 12-01-1439 H / 02-10-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1808-sirah-nabi-5-kondisi-keagamaan-sebelum-diutusnya-nabi-muhammad.html